BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, April 30, 2009

Macam - macam Riba

1.Riba Fadhl, yaitu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh yang menukarkan. Contoh, tukar-menukar emas dengan emas, beras dengan beras, dengan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkannya. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus memenuhi tiga syarat :
Tukar-menukar barang tersebut harus sama
Timbangan atau takarannya harus sama
Serah terima pada saat itu juga.

Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ubadah bin Ash-Shamit ra, Nabi SAW telah bersabda : “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, maka apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai.” (HR. Muslim dan Ahmad).

2.Riba Qardhi, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami. Contoh, A meminjam uang kepada B sebesar Rp. 5.000 dan B mengharuskan kepada A mengembalikan uang itu sebesar Rp. 5.500. Tambahan lima ratus rupiah adalah riba qardhi.

4.Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima. Misalnya orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, antara penjual dan pembeli berpisah sebelum serah terima barang itu.

5.Riba Nasiah, yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jua-beli yang bayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan dilambatkan. Contoh, A membeli arloji seharga Rp. 500.000. Oleh penjual disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp. 525.000. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun dinamakan riba nasiah.

Rasulullah SAW bersabda :
Dari Samurah bin Jundub ra, sesungguhnya Nabi SAW telah melarang jual-beli bintang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (HR. Lima ahli hadits dan disahkan oleh At-Turmudzi dan Abu Dawud).

Rabu, April 29, 2009

Hukum Nikah Dalam Keadaan Hamil

Pertanyaan :
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita
yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah
harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi
tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?


Jawab :
Kami jawab –dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim
sebagai berikut :
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang
banyak terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah
menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh
dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia
melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
"Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya". (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
"Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah
sebelum habis 'iddahnya". (QS. Al-Baqarah : 235).

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : "Yaitu
jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya". Kemudian
beliau berkata : "Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah
sah pada masa 'iddah".
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla
10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih
meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi
diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari
Allah Al-'Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,
dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan
pendapat dikalangan para 'ulama.

Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua
perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan
pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik,
Syafi'iy dan Abu Hanifah.

Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan
disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
"Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah
yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah
yang benar tanpa keraguan".
Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :

"Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang
berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.
Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin". (QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah
bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
"Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan
perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut
dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata :
"Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam lalu saya berkata : "Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?".
Martsad berkata : "Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : "Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik". Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata : "Jangan kamu nikahi dia".
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177,
An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy
7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh
Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan
pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun
kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan
perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :

"Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa
baginya". (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83
dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat
An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh
(terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah
secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan
pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum
bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan
6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny
9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat
perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia
menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh
Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu
'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau
berkata : "Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat
(berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan
bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana
(bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?".

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana
ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan
lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari
terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini.
Wallahu A'lam.

Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah.
Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan
syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin
'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan
antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh
untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh
ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan
Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh
ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang
yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin)
dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut
dalam keadaan hamil.

Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib
'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan
perang Authos :
"Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan
(pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali". (HR. Ahmad
3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy
5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama
Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang
jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari
beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia
menyiramkan airnya ke tanaman orang lain". (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud
no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam
Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam
Al-Irwa` no. 2137).

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi
wa 'ala alihi wa sallam :
"Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu
Pusthath. Beliau bersabda : "Barangkali orang itu ingin menggaulinya
?". (Para sahabat) menjawab : "Benar". Maka Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : "Sungguh saya telah
berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya.
Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan
bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya".

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Dalam (hadits) ini ada dalil yang
sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya
itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat
(yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina".

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa
Saudi Arabia). Wallahu A'lam.

Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil
karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah
bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh
keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :
"Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya". (QS. Ath-Tholaq : 4).

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya
diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan
yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah
istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat :
tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.

Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah
cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di
atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam
Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya
sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :

"Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri
(menunggu) selama tiga kali quru`(haid)". (QS. Al-Baqarah : 228).

Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua
syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah
sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid
satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.

Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197,
Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349,
Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa
32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan
Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.

2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik
hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya
adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah
pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau
keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri
setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka
keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman)
sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian
keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya : "Setelah keduanya berpisah, apakah boleh
keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?".
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama.
Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat : "Perempuan tersebut tidak
diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya".
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa
perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau
berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang
menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan
pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat
bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang
terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya
dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik
bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai
kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya
menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah.
Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam
keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil
kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap
berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara
yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi
perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan
hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara
keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang
telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau
memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

"Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya
batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk
padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,
dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang
tidak mempunyai wali". (HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya
1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam
Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra
4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no.
698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112,
Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi
no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700,
Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no.
4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074,
Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138,
10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh
Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu
'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no.1840).

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di
masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam
hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah
ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan
keumuman firman Allah Ta'ala :
"Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka
dengan penuh kerelaan" (QS. An-Nisa` : 4).

Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
"Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu
kewajiban".(QS.An-Nisa` : 24)

Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494,
Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.

[Tulisan Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi, dimuat dalam
Risalah Ilmiyah An-Nashihah vol ke-5]
http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/7

Antara Berbakti Kepada Orang Tua dan Taat Kepada Suami

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta?ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
?Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka?? (An-Nisa?: 34)
Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
?Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.?
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
?Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.?
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
?Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.?
At-Tirmidzi berkata, ?Hadits ini hasan3.?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
?Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.?
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, ?Hadits ini hasan4.? Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
??niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.?5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ?anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
?Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.?6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
?Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.?7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ?anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu?adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu?adz, ?Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu?adz??
Mu?adz menjawab, ?Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.?
Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda, ?Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.?
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
?Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.?
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, ?Hadits ini hasan10.?
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
?Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.?11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ?anhu berkata, ?Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.? Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta?ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
?Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.? (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ?anhu berkata, ?Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.?
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
?Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.?12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta?ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ?anhu, ia berkata, ?Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
?Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.?16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
?Istri-istri yang minta khulu?17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.?18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ?alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta?ala dan Rasul-Nya Shallallahu ?alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta?ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta?ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
?Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.?19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ?alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.? (Majmu?atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a?lam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
?Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.?
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa?i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam: ?Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?? Beliau menjawab, ?Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.? (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa?ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami? Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, ?Hasan Shahih.?
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu?aim dalam Ad-Dala?il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha?if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, ?Hasan Shahih.? Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima'. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha?, bab Ma Ja?a fi Haqqiz Zauj alal Mar?ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa?i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li'an, bab Ma Ja?a fil Mukhtali'at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li?an, bab Ma Ja?a fil Mukhtali?at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, ?Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.? (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li?an, bab Ma Ja?a fil Mukhtali?at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta?liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, ?Isnadnya shahih.?

Penulis/Sumber : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Majalah Asysyariah Online

Muhasabah

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: ?Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.?
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: ?Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang yang membantunya ?jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain? atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.?
Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan.
Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:
Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan itu?
Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba?ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

?Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.? (Al-Hijr: 92-93)

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

?Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).? (Al-A?raf: 6-7)

لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا

?Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.? (Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: ?Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang ibadahnya.?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

?Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).? (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: ?Kemudian pasti Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya??
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepada setiap hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً

?Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.? (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

?Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.? (Al-Hasyr: 18)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikannya seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Penulis/Sumber : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
Majalah Asysyarriah Online

Selasa, April 28, 2009

Perbedaan Mani Laki-laki dan Wanita

Muslimah Bertanya

Perbedaan Mani Laki-laki dan Wanita

Apakah wanita juga keluar mani sebagaimana halnya laki-laki? Bila ya, bagaimana ciri-cirinya? Dan apa yang harus dilakukan?
(Ummu Fulan di Bumi Allah)

Jawab :
Wanita juga keluar mani sebagaimana laki-laki. Dengan mani itu, muncul sifat identik sang anak, apakah memiliki kemiripan dengan ayah ataupun dengan ibunya. Ketika ditanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata:

نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ؟
"Iya, darimana adanya persamaan anak (dengan ayah atau ibunya kalaupun bukan karena mani tersebut)?" (Shahih, HR. Muslim no. 310)

Namun mani wanita berbeda dengan laki-laki, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
"Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita tipis/ halus dan berwarna kuning." (Shahih, HR. Muslim no. 310, 315)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Adapun mani wanita berwarna kuning, tipis/ halus. Namun terkadang warnanya bisa memutih karena kelebihan kekuatannya. Dan mani wanita ini bisa ditandai dengan dua hal: pertama, aromanya seperti aroma mani laki-laki. Kedua, terasa nikmat ketika keluarnya dan setelah keluarnya, syahwatpun mereda." (Syarah Shahih Muslim, 3/223)
Sebagaimana halnya laki-laki, bila seorang wanita keluar mani, karena senggama maupun ihtilam (mimpi senggama), maka ia wajib mandi. Hal ini pernah ditanyakan oleh Ummu Sulaim radhiallahu 'anha kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika datang menemui Rasulullah, Ummu Sulaim berkata:

فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ, إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
"Apakah wanita harus mandi bila ia ihtilam?" Rasulullah menjawab: "Ya, apabila ia melihat keluarnya mani." (Shahih, HR. Muslim no. 313)
Dalam Al-Majmu' (2/158), Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Ulama sepakat wajibnya seseorang mandi bila keluar mani, dan tidak ada perbedaan di sisi kami apakah keluarnya karena jima' (senggama), ihtilam, onani, melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat, ataupun keluar mani tanpa sebab. Dan sama saja apakah keluarnya dengan syahwat ataupun tidak, dengan rasa nikmat atau tidak, banyak ataupun sedikit walaupun hanya setetes, dan sama saja apakah keluarnya di waktu tidur ataupun di waktu jaga, baik laki-laki maupun wanita."

Penulis/Sumber : Al Ustadzah
majalah Asysyariah online

Mengenal Bid`ah

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah : "Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah. Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua :

Pertama : Bid`ah I'tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :
"Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan".
Para shahabat bertanya : "Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.
Beliau menjawab : "Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku".

Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.

Kedua : Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
"Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)"

Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
"Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)"

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :
Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a`lam.*****
(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah)

Penulis/Sumber : Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari

Status Anak Zina

Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang ?Taubat dari Perbuatan Zina?, sebagai berikut:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

(Fulanah di Solo)

Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ?ala Rasulillah, wa ?ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An-Nur: 3:
الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
?Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.?
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ?iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ?Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti? (5/215, cet. Darul Atsar): ??Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu? Fatawa (32/112): ?Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.?
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): ?Seorang wanita yang khulu?2 -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-?iddah dengan ?iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.?
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: ?Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ?iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.?
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi? bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ ?يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
?Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang ?yakni menggauli wanita sabaya yang hamil? dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.? (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa?id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
?Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.? (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar?i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
?Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.? (Muttafaq ?alaih dari Abu Hurairah dan ?Aisyah radhiyallahu 'anha)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar?i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ?Utsaimin rahimahullahu pada Bab ?Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ?Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu? Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti?, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li?an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa?d As-Sa?idi radhiyallahu 'anhu yang muttafaq ?alaih.
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: ?Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu?, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-?Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ?ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ?ashabah lainnya6.
4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ?Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti? (5/154): ?Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya.... Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.?
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ?Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ... فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
?Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil?, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.? (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ?Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi?i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan?ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): ?Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.?
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ?ashabah ibunya merupakan ?ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ?ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a?lam bish-shawab.

1 ?Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ?iddah-nya sampai melahirkan.
2 Khulu? adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
3 Li?an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya dirinya jika suaminya benar.
4 Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi?i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ?Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu? Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti? (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
5 Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta?shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ?ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
6 Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti?, (5/145-154).
7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Penulis/Sumber : Redaksi Asy-Syariah

Selasa, April 21, 2009

Kisah Wanita Cantik

Seorang remanja usia 19 tahun, mempunyai paras yang sangat cantik, badan yang bagus sehingga semua orang yang melihatnya engan untuk berpaling darinya. Remaja inipun sadar dengan kelebihannya tersebut, tentunya ia merasa nyaman dengan ini semua.
Dalam memelihara parasnya yang cantik ia tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang begitu banyak, mulai dari perawatan rambut, kulit, sampai pakaian koleksi tekini.Tentu semuanya sesuai dengan hasil yang diharapkan hal ini dibuktikan dengan setiap kali ia kesuatu tempat ia tak perna luput dari rasa kagum orang-orang yang melihat kecantikannya.
Tahun berganti tahun usia wanita ini sudah memasuki 30 tahun, kecantikan wanita ini tidak berubah tentu ini yang diharapkan, namun ada yang aneh ketika suatu hari ia melintasi tempat yang biasanya ia kunjungi, orang-orang sudah tidak bersikap seperti dulu lagi bahkan sekedar menolehkan wajah saja enggan.iapun segera berlalu dan merenungkan nasibnya.nampaknya orang sudah mulai bosan dengan penampilannya bahkan lebih tertarik dengan penampilan wanita-wanita yang usianya 20 tahun alias ABG.jadi gimanakah nasibnya?bahkan pendamping hidup ia ngk punya karena sibuk dengan penampilannya.

Senin, April 20, 2009

KUDUNG GAUL ( Berjilbab Tapi kok Telanjang)

Dengan penuh percaya diri wanita muda masa kini berjalan dengan langkah gontai dengan ayunan kaki layaknya sang peragawati, kerudung berwarna dengan sedikit aksesoris menambah keindahan dan kecantikan. Bibir yang merah muda sesekali tersungging menggapai godaaan sang pejantan.
Dengan baju yang super ketat, memperlihatkan lekuk- lekuk dada dengan garis- garis BH-nya yang seakan- akan terlihat jelas. Pinggang yang nampak langsing ikut dibentuk oleh bajunya yang super ketat. Tak hanya itu juga pusarnya “ terpaksa “ ditampakkan mengingat baju masa kecilnya dipakai ( atau sengaja za….!!!!)
Wanita itu seakan tidak puas dengan semua itu, celana yang dikenakanpun tak jauh beda dengan bajunya. Dengan celana Jeans yang super ketat seakan menginginkan pinggulnya, pantatnya, pahanya, bahkan maaf “ alat vitalnya “ terbentuk dengan sempurnanya. Ketika naik angkot terlihat dengan jelas bagian pinggulnya terbuka dan bahkan celana dalamnya ( CD-ya) maaf terlihat lebih tinggi dari celana panjangnya.
Lain lagi gaya berjilbab anak- anak SMU kerudung yang beraneka ragam gaya yang menarik dan dengan gaya yang dililitkan ke leher ( tidak dirumbaikan ke dada sebagaimana aturan islam ) dengan mode tersendiri. Pakaian yang kecil (panjangnya tak sampai menutupi pantat ). Dengan memakai rok di bawah pinggang (Medel- medel) seakan maaf ingin memamerkan celana dalamnya, atau mungkin ingin terlihat menarik dengan gaya yang tampil beda.
Fenomena ini teryata bukan dominasi sekolah umum saja, santri di pesantren-pesantren, Mahasiswi di berbagai perguruan tinggi islam, bahkan anak-anak MA (Madrasah Aliyah) juga ikut “menikmati“ gaya seperti ini. Tak ketinggalan juga Ibu- ibu dan tante- tantepun ikut menikmati gaya jilbab seperti ini.
Itulah fenomena umat islam modern sekarang ini. Mereka sering berdalih “ Inilah kita, umat yang tidak ketinggalan zaman.” Atau mereka sering berkata : “wah ….!!kita belum berani, belum siap!!!” Entah siapa yang memulai pertama kali, yang jelas mode jilbab ini muncul awal tahun 2000 disaat media cetak dan elektrolika lagi jaya- jayanya di Indonesia.
Secara naluri, siapa Sich yang tidak tertarik??? Laki- laki tentu akan sangat tertarik . Bahkan jangankan mode seperti ini, mode yang biasa aja udah buat fitnah dimata laki- laki. Pantas wanita yang pertama disebut dalam Al- Quran yang membuat laki- laki terpesona.

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“ Dijadikan indah pada ( pandangan ) manusia kecantiakan kepada apa- apa yang diinginkan, yaitu wanita- wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan dunia; dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik( surga )”
( Q,S. Ali Imran:14)

Kudung gaul adalah bentuk expresi para wanita muda sekarang ini. Mereka tak mau menanggalkan kerudungnya, tapi juga tak mau ketinggalan zaman alias tidak mau disebut kampungan, kuno atau terbelakang. Bahakan wanita yang meniru mode jilbab gaul sepeti sekarang ini, bias di ibaratkan “Ikan bandeng yang sedikit tertutup, tapi baunya masih tercium oleh sang kucing, sehingga sang kucing ( dalam hal ini laki- laki ) siap menerkam disaat kesempatan terbuka lebar.”
Terkadang wanita sekarang ini tidak mengetahui hakekat Allah menyuruh wanita memakai kerudung, atau untuk apa tho wanita wajib berjilbab??? Hal ini dijelaskan dalam Al- Quran.


Allah Azza wa jalla berfirman:
“ Hai Nabi!!Katakanlah kepada Istri- istrimu, anak- anak perempuanmu dan istri- istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang” ( Q.S. Al- Ahzab: 59)

Dari firman Allah di atas kita bisa mengetahui faedah diwajibkanya berjilbab dengan apa yag diajarkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, bukan mode sekarang diantaranya:
1. Seorang muslimah lebih bisa dikenal kalau dia benar- benar seorang muslimah sejati. Bukanya muslimah “Abangan” (Cuma KTP )
Dalam hal ini, kita sebagai muslimah kalau sudah dikenal sebagai seorang muslimah sejati, segala sesuatunya akan lebih mudah. Contohnya dalam mencari jodoh, kalau kita dikenal sebagai muslimah sejati pasti kita mendapat pendamping muslim sejati pula. Tidak akan mungkin kalau kita sudah dikenal sebagai muslimah sejati, masak dijodohkan dengan laki- laki yang tidak baik.
Apakah mungkin ada wanita yang mau dijodohkan dengan laki- laki yang tidak baik- baik??? Kalaupun ada itupun pasti wanita yang paling bodoh, paling buruk, paling jelek, dan pastinya dia seorang wanita “Pezina”. Hal itu sudah jelas karena wanita Pezina untuk laki- laki pezina, sedangkan wanita sholikhah untuk laki- laki sholikh pula. Itu sudah jelas, jadi mari kita Intropeksi pada diri kita pribadi, apakah kita sudah jadi wanita solikhah??? Apakah kita lebih suka dengan laki- laki Sholikh, atau kita lebih suka dengan laki- laki yang gaul, tidak tau agama, bahkan tidak tahu adab??? Kalau kita lebih suka dengan laki- laki yang tak tahu diri, sungguh segeralah engkau bertaubat, sesungguhnya Allah suka dengan orang- orang yang bertaubat. Jadi janganlah engkau khawatir kalau dengan menjadi wanita yang sholikhah kita tidak laku- laku. Justru dengan kita menjadi wanita yang sholikhah kita akan menjadi orang yang diidam- idamkan oleh laki- laki yang sholikh. Yaitu dengan bagaimana??? Yakni dengan mengulurka Jilbab seperti apa yang diajarkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam.

2. Menjaga kehormatan wanita dari mata-mata laki- laki dan menjauhkan dirinya dari fitnah.
Dalam penafsiran yang khusus jilbab berfungsi menjaga nafsu birahi laki- laki yang biasa bangkit setelah melihat aurat wanita. Tetapi sekarang ini tak heran banyak wanita yang berkerudung menjadi korban “ Pemerkosaan “, menjadi korban pelampiasan syahwat ( walaupun yang wanita suka sich…. ). Itu karena mereka salah dalam menerapkan pemakaian kerudung. Kerudung yang sebenarnya bisa meredakan nafsu birahi laki- laki, tapi malah memberi Suport untuk melampiaskan birahinya. Tak heran juga anak- anak MA ( Madrasah Aliyah ) yang sehariannya berkerudung, Eh….. malah kecelakaan ( Hamil sebelum nikah ). Tu semua karena mereka belum mengetahui hakekat berkerudung.
Sekarang dengan adanya mode kerudung gaul “ memaksa “ orang berfikir, “ Kenapa kita harus berkerudung??? Kalau yang berkerudung saja sama dengan kita ( Berbuat maksiat, memamerkan auratnya ) kan itu sama saja dengan kita yang tidak berkerudung, jadi buat apa kita bekerudung kalau hasilnya sama!!!”
nItulah pikiran yang kacau, pikiran orang yang jahil. Memang mereka tidak bisa disalahkan 100%, justru yang harus disalahkan dan diperingatkan adalah muslimah yang tidak tahu hakekat berkerudung. Bukanya mereka memperindah Islam, Eh………malah memperjelekanya. Tetapi yang tidak berkerudung juga jangan senang dulu, karena engkau sesungguhnya “Berpakaian tapi telanjang” dan sesungguhnya wanita yang seperti itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium bau surga, yang sungguh baunya tercium dari jauh.


Wahai engkau wanita yang perpakaian tapi telanjang ( baik yang tidak berkerudung maupun wanita yang meniru mode kerudung gaul )!!! Ingatlah bahwa kalian telah berbuat “Fakhisyah“ suatu kejahatan yang ukan hanya merugikan diri sendiri, tapi juga menjerumuskan orang lain pada lembah kehinaan. Coba kalian fikirkan, dengan bermode seperti itu bukan hanya dirimu yang ada dalam ancaman kejahatan, tapi juga secara tidak langsung menjerumuskan laki- laki. Bukan hanya laki- laki pezina saja tetapi juga leleki yang sholikhpun kau jerumuskan. Kau jerumuskan dengan lekuk- lekuk tubuhmu, kau jerumuskan mereka dengan keindahan tubuhmu. Bukan hanya itu juga engkau secara tidak langsung juga memperjelek agama Allah, Agama Islam.
Wahai engkau wanita!!! Apakah kalian paham akan apa yang kalian lakukan??? Apa kalian juga tahu apa ancaman bagi wanita yang berpakaian, tetapi pada hakekatnya tenlanjang???
Dalam hai ini Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam mengancam, bahwa wanita yang berpakaian tetapi masih memperlihatkan sebagaian auratnya, alias berpakaian tapi telanjang tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mencium bau surga.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“ Wanita yang berpakaian tapi telanjang yang selalu maksiat dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat,rambutnya sebesar punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium wanginya, padahal bau surga itu tecium sejauh perjalanan yang amat panjang.”( HR. Muslim )

Wahai engkau wanita yang tak berkerudung, dan juga engkau wanita yang berkerudung tapi telanjang, wanita yang mengikuti mode kerudung gaul. Segeralah engkau bertaubat sebelum engkau terlambat, sebelum ajalmu datang menghampiri!!! Segeralah engkau merubah gaya berpakaianmu seperti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Apa engkau tidak mau masuk surganya Allah Azza Wa Jalla? Hanya orang gilalah yang tidak mau masuk surganya Allah dan hanya orang yang paling bodoh, tolol dan paling jelek yang tidak kepingin masuk surga. Atau orang yang bodohlah orang yang menginginkan surga tapi masih melanggar apa yang dilarang oleh Allah Azza Wa Jalla. Oleh karena itu segerralah engkau bertaubat, dan perbanyaklah mempelajari ilmu Dien, ilmu agama . Ubahlah…. Ubahlah sebelum banyk lagi korban akan kejahatanmu itu, karena itu sesungguhnya engkau termasuk orang- orang “Fakhisyah “

Pesona tubuhmu adalah anugerah
sekaligus racun dunia.
Jagalah dan gunakan sebagaimana apa yang diperintahkan Allah Azza Wa Jalla


“Tidak ada suatu cobaan sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki- laki yang melebihi bahayanya cobaan yang berhubungan dengan wanita”
( HR. Bukhori wa Muslim )


Akhi Fillah, Abdullah Al- Ilma